Jangan Lupa Sejarah Desamu !

Monday, April 11, 2016



ILMU ITU TELAH PERGI
اَلْحَمْدُ للهِ حَمْدَ عَالِمٍ بِعُلُوِّ شَأْنِ الْعِلْمِ وَاَهْلِهِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحِبِّيْهِ الْجَلِيْلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحَابَتِهِ

Zainuddin adalah ahli ilmu sekaligus inspirasi ahli ilmu
dalam hal ketaatan,
kesabaran,
ketekunan,
keshalihan,
kecerdasan,
kejujuran, dan
kecintaan pada madrasahnya.

Zainuddin adalah ilmu;
terlalu banyak pelajaran yang diambil oleh keluarga besar al-Shaulatiyyah
dari pribadi Zainuddin.

Zainuddin adalah kitab,
catatan,
prosa,
puisi.
Zainuddin menjadi pujian atas keagungan ilmu dan ahlinya.
Wujud Zainuddin adalah ilmu itu sendiri.
Ilmu hidup yang dimiliki al-Shaulatiyyah.

(Renungan Majlis atas Nyanyi Sunyi Syaikh Salim Rahmatullah dan
Keharuan Syaikh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki)
{
Suatu hari di madrasah al-Shaulatiyyah, ada sesuatu yang luar biasa, tepatnya kesedihan yang susah tergambarkan dengan kata-kata. Kesedihan akibat kehilangan yang teramat dalam. Kesedihan yang berbaur dengan kebanggaan. Kehilangan yang bertabur dengan keharuan. Saat itu Mudir al-Shaulatiyyah membuka rahasia hatinya atas cintanya yang teramat dalam pada muridnya, Zainuddin. Cerita ini adalah cerita gairah ahli ilmu pada sukacita mengajar sepanjang tahun di madrasah tertua di jazirah Arabia itu. Cerita tentang kehadiran murid cerdas dan paling berpengaruh dalam sejarah madrasah itu. Dialah Zainuddin, putra Indonesia.
Suatu hari Zainuddin datang dengan penuh harap untuk menjadi murid di madrasah itu. Ditentengnya ijazah sekolah dasar atau sekolah rakyat pemerintah Belanda. Ternyata ijazah itu tidak penting. Untuk bisa duduk di madrasah itu, siapapun tak terkecuali Zainuddin, wajib mengikuti ujian masuk. Hari itu Zainuddin diterima oleh guru Muda bernama Hasan bin Muhammad. Guru muda yang nyaris seumuran dengan Zainuddin.
Hari itu juga sang guru muda meminta Zainuddin agar siap diuji. Ujian pun berjalan lancar. Berdasarkan hasil tes, Zainuddin dinyatakan lulus dengan kenyataan yang tidak dibayangkannya. Ia dinyatakan lulus di kelas tiga. Dalam rasa tidak percaya, Zainuddin memohon langsung pada guru muda yang berada di hadapannya agar ia diperkenankan tidak langsung di kelas tiga. Ia meminta agar bisa belajar dari kelas dua. Keinginannya tidak langsung diterima karena berdasarkan hasil placement test Zainuddin berhak di kelas tiga. Dengan pertimbangan yang disampaikan oleh calon murid cerdas itu, akhirnya ia diperkenankan masuk di kelas dua.
Bismillah, hari itu ia belajar di kelas dua.
Murid yang direkomendasikan di kelas tiga namun memilih belajar di kelas dua itu ternyata murid luar biasa. Kemampuannya sangat luar biasa. Diikutinya proses belajar dengan mudah, namun justru kemudahan belajar bagi Zainuddin yang super cerdas tersebut membuat guru di kelas menjadi kurang nyaman. Ketidak-nyamanan yang bukan bermakna negatif. Hal itu karena guru harus memiliki cara berbeda menghadapi murid al-Indonesiy itu. Ia bukanlah murid biasa dengan kemampuan rata-rata, namun dia adalah murid dengan kecepatan belajar yang luar biasa.
Guru kelas dua menyadari potensi muridnya dan progress atau kemajuan murid tersebut dilaporkan kepada mudir atau kepala sekolah. Sidang dewan guru menetapkan Zainuddin untuk dinaikkan kelasnya. Sidang terasa istimewa karena gurunya menginginkan ia tidak naik kelas dengan kawan-kawannya atau naik ke kelas tiga. Sidang menaruh perhatian luar biasa pada murid fenomenal itu. Mungkin saja tidak seluruh guru tahu bahwa murid itu dahulu memang murid kelas tiga yang meminta ditempatkan di kelas dua. Sidang yang taklazim itu kemudian menempatkan Zainuddin dengan keputusan luar biasa. Zainuddin meninggalkan kelas dua dan melompati kelas tiga.
Zainuddin akhirnya diputuskan untuk ditempatkan di kelas empat. Bukankah dahulu ia diminta masuk ke kelas tiga. Bukankah benar pertimbangan gurunya Hasan bin Muhammad bahwa kelas dua tidak cocok baginya. Bukankah itu berarti kelas tiga memang juga bukan untuknya. Ia sebenarnya murid kelas empat. Lalu dijalaninya hari-hari belajar di kelas empat. Sungguh di kelas ini juga ia menjadi murid yang luar biasa. Guru-guru di kelas empat justru menjadi kerepotan mengajar bukan karena menghadapi  murid yang masuk kelas akselerasi tersebut. Para guru bukan repot karena harus mengajar murid dengan beberapa penyesuaian tersebut. Yang menjadi soal adalah murid super cerdas ini ternyata sama sekali tidak mengalami kesulitan mengikuti pelajaran.
Menghadapi kelas Zainuddin, para guru tidak seperti menghadapi kelas yang lain. Para guru harus belajar ekstra sebelum masuk kelas Zainuddin. Para ulama itu benar-benar harus siap jika masuk mengajar di kelas Zainuddin. Para guru bangga memiliki murid cerdas tersebut namun tentu saja kebanggaan itu harus berimbas pada keseriusannya belajar mempersiapkan diri menghadapi muridnya, Zainuddin dan kawan-kawan.
Di kelas empat Zainuddin juga mendapat teman baru yang justru telah mengenyam pelajaran kelas tiga. Lama belajar temannya saat kelas tiga dahulu dan juga umurnya tentu saja berbeda dengan Zainuddin. Di kelas ini lagi-lagi Zainuddin membuat teman sekelasnya geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin murid dari Lombok itu tidak kesulitan sama sekali dalam semua mata pelajaran. Maulana Hasan bin Muhammad juga begitu riangnya setiap kali mengajar di kelas Zainuddin.
Bahkan al-Syaikh Hasan kerap membawa karangannya ke dalam kelas Zainuddin. Salah satu kitab karangannya adalah al-Taqrirat al-Tsaniyyah Syarah al-Manzumat al-Baiquniyyah. Saat di kelas, sang Syaikh meminta Zainuddin mengoreksi (mentashih) karangannya langsung di depan kawan-kawannya. Al-Syaikh Hasan yang bergelar al-Muhaddits al-Ushul tersebut tidak memintanya secara personal namun permintaan tersebut ditunjukkan secara terbuka di depan teman-teman Zainuddin. Secara nyata (hal) Maulana al-Hasan menyatakan bahwa muridnya super cerdas itu adalah ulama yang berhak mentashhih kitab karangan ulama. Dalam hal ini tidak lain adalah gurunya yakni ulama al-Shaulatiyyah yang amat disegani.
Saat suasana belajar di kelas itu, Zainuddin pada awalnya menolak permintaan gurunya mengoreksi kitab tersebut namun sang guru terus meminta agar Zainuddin memeriksa kitab karangannya. Zainuddin malu pada dirinya dan juga sungkan kepada temannya. Zainuddin merasa diri sangat tidak layak mengoreksi karangan gurunya dan apalagi di hadapan kawan-kawan sekelasnya. Kitab itupun (dengan berat hati) diterimanya dari sang guru dan didekapnya erat di jalanan pulang ke kosannya sambil mengikuti pikirannya yang berkecamuk tentang hari belajar yang takwajar.
Sampai akhirnya beliau membaca kitab tulisan gurunya tentang ilmu hadits tersebut. Benar saja ujian khusus dalam bentuk koreksi kitab oleh Maulana al-Hasan telah menempatkan murid cerdas itu pada bagian khusus di hati para ulama Haramain tersebut. Ia dengan penuh ta’zim menyampaikan catatannya pada kitab tersebut sebagai masukan atau koreksi. Dengan hati-hati ditulisnya catatan koreksi itu. Dengan penuh kehati-hatian pula demi menjaga ta’zim disusunnya ungkapan yang tepat ketika memberi catatan koreksi tersebut:
Untuk beberapa pertimbangan beliau menulis: lau kâna kadzâ lakâna ahsan. [Seandainya ditulis begini mungkin lebih cocok]. Beliau bercerita bahwa memberikan komentar tidak sulit namun adab kepada gurulah justru yang sangat sulit dijaga. Beliau khawatir tidak tepat dalam memberi masukan atau koreksi buku tersebut namun beliau lebih khawatir jangan sampai komentarnya tersebut menjadi kurang sopan (su’ul adab) kepada gurunya. Koreksi beliau pada buku tersebut kurang lebih tiga atau empat tempat.
Para kawan dekatnya juga menyadari keahlian Zainuddin, seperti Syaikh Zakaria Abdullah Bila, kawan sekelasnya dari Sumatera. Seorang murid al-Shaulatiyyah yang ahli bahasa itu mengenang bagaimana ia takkuasa membendung hasratnya mengalahkan Zainuddin. Zainuddin adalah kawan dekatnya sekaligus saingan beratnya. Zainuddin adalah sahabatnya sekaligus kompetitor tangguhnya di al-Shaulatiyyah. Zakaria minimal telah belajar di al-Shaulatiyyah lebih lama daripada Zainuddin. Zakaria maksimal belajarnya, sempurna pula rajinnya merasa bahwa suatu saat nanti ia dapat mengalahkan Zainuddin, sekali saja.
Sampailah pada suatu hari ia menemukan cara jitu mengalahkan classmate-nya itu. Itu jelang ujian akhir tahun dan salah satu mata ujiannya adalah Tafsir. Salah satu referensi tafsir itu hanya ada di perpustakaan al-Shaulatiyyah dan tidak dijual bebas. Bergegas ia menuju perpustakaan al-Shaulatiyyah dan meminta kepada penjaga perpustakaan agar kitab tersebut dipinjaminya dan disimpankan untuknya untuk diambilnya nanti. Ia juga berpesan agar tidak memberi tahu siapapun yang mau meminjam buku itu.
Sambil menyusuri jalanan kota Makkah ia kembali ke kosan-nya. Dalam terpekur mengukur jalanan itu, ia menaruh yakin bahwa paling tidak di pelajaran tafsir ia akan mampu mengalahkan Zainuddin. Rupanya Zainuddin juga mencari kitab yang sama. Suatu hari Zainuddin menuju perpustakaan untuk meminjam kitab bersejarah tersebut. Ia berusaha membolak-balik kitab-kitab tersebut. Nihil. Takjua dijumpainya kitab tersebut. Ia yakin kitab itu ada di barisan atau jejeran buku-buku tafsir tetapi kini kemana. Ia kemudian berpikir bahwa buku tersebut pasti sudah ada yang meminjamnya.
Zainuddin pun bergegas menuju penjaga perpustakaan. Sang penjaga mengatakan bahwa dia tidak tahu tentang buku itu. Zainuddin pun bertanya lagi untuk menepis keraguannya bahwa buku itu memang pernah ada di perpustakaan. Tanyanya yang ragu dan berulang itu meyakinkan dirinya bahwa sang penjaga agaknya menyimpan sesuatu. Diyakininya dari raut muka dan nada serta gaya bicaranya yang tertahan itu, sang penjaga menyimpan konspirasi dengan peminjam buku tersebut.
Zainuddin lalu mendekatkan wajahnya kepada penjaga itu dan berkata dengan setengah berbisik, ”siapa sebenarnya yang pinjam buku itu, tolong beri tahu saya“. Awalnya sang penjaga takbergeming namun akhirnya dia membisikkan kepada Zainuddin agar rahasia konspirasi penjaga dengan siapa yang meminjam buku itu tidak bocor. Sudahlah, kalau Zakaria yang meminjamnya pasti aku akan dapat meminjamnya.
Dalam langkah berpaut tanya yang takselesai ia pun menuju kosan Zakaria. Dia berdiri ragu di depan pintu. Salam pun terucap dan sang pemilik kosan pun keluar. “Saya mau pinjam buku, berikan saya membacanya karena sudah Anda pinjam”. Betapa terperanjatnya Zakaria karena ternyata kongkalikong-nya dengan penjaga perpustakaan terbongkar. Walaupun begitu tekadnya mengalahkan Zainuddin di mata pelajaran ini tetap dikukuhkannya. Ia juga semakin kukuh meyakinkan kawan baiknya tersebut bahwa bukan dia yang meminjam buku tersebut. Mata batin Zainuddin melihat gejala ketidakwajaran itu. Namun begitu, tampaknya ia lebih memilih sabar dan kemudian berpamitan pada kawan baiknya tersebut. Ia terjebak dalam dilema antara ingin benar membaca buku itu dengan membongkar trik takmanis kawannya itu dan mengukir sabar bahwa persahabatan lebih utama dibandingkan meraih rangking di kelas.
Cerita ini takterungkap jika saja Syaikh Zakaria, ulama sekaligus pedagang serta pengarang cerdas itu tidak menceritakannya sendiri kisah konspiratif tersebut. Untuk mengalahkan Zainuddin ia harus menyembunyikan kitab referensi tersebut dan membacanya sendiri dengan harapan pembaca tentu tahu isi kitab tersebut dan tentu dapat menjawab soal-soal ujian itu dengan mudah. Praduganya terkubur ketika hasil ujian diterimanya. Ia menatap sahabatnya itu dalam rasa kagum yang teramat dalam. Bagaimana mungkin Zainuddin mampu menjawab dengan demikian sempurna setiap soal dalam kertas ulangan itu sekalipun tidak dibacanya buku yang disembunyikannya itu. Bahkan di beberapa jawaban tersebut Zainuddin merangkai jawabannya dengan syair (puisi) secara spontan saat ujian itu.
Zakaria mengubur hasratnya menyaingi Zainuddin dan serta merta mendayung rasa kagumnya pada kawannya itu. Zainuddin yang menjadi korban upaya cerdas menekuk langkahnya yang selalu sukses juga sesungguhnya tahu itu. Namun jika saja tidak diceritakan oleh sahabatnya, maka cerita kekaguman yang berbau sabotase itu takkan terungkap. Zakaria niatnya hanya menguji apakah dirinya mampu mengalahkan sahabatnya itu dalam hal nilai bukan semata ingin mengalahkan atau menjatuhkan Zainuddin. Ia juga ingin menguji kadar kealiman kawannya itu jika saja materi tersebut ujian tersebut luput dari belajarnya.
Nyatanya kealiman Zainuddin semakin memesona dirinya, kawannya, guru-gurunya dan juga seluruh keluarga al-Shaulatiyyah. Pesona kekaguman itulah yang diceritakan bahwa bagaimana sedihnya keluarga besar al-Shaulatiyyah ketika Zainuddin tamat dan pulang ke Indonesia. Benar saudaraku,  ini bukan cerita kekaguman namun ini adalah cerita kesedihan atas kehilangan murid terbaik al-Shaulatiyyah. Tamatnya Zainuddin telah menjadi prasasti abadi kebanggaan al-Shaulatiyyah namun juga kepergian Zainuddin dari halaman al-Shaulatiyyah telah menciptakan rasa dan aura kehilangan yang tiada tara bagi al-Shaulatiyyah.
Saudaraku, yang pernah belajar langsung kepada Maulana al-Syaikh tentu tahu bahwa sekian pujian yang disampaikan oleh guru dan pimpinan madrasah al-Shaulatiyyah. Pujian al-Syaikh Amin Kutbi, madah Syaikh Salim, ikrar Syaikh Hasan Masysyath, sanjungan kawan-kawannya, semua itu bukan semata pujian. Itu semua bahasa batin, nyanyian jiwa, nada sukma yang mengalir pada diri para ulama besar itu dan mengalir dalam tutur magis itu. Ini bukan keceriaan menyaksikan bulan yang menerpa alam. Ini adalah nyanyian pujian dan kesaksian pada terang bulan yang menjadi suluh dalam gelap alam maya dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki murid lain sepanjang sejarah al-Shaulatiyyah. Zainuddin adalah satu-satunya murid al-Shaulatiyyah yang masih disimpan rapi lembar jawaban ujian akhirnya di perpustakaan. Bahkan sampai saat ini.
Ketika Zainuddin sudah tidak lagi di altar madrasah al-Shaulatiyyah, rasa kehilangan itu amat nyata. Kehilangan yang teramat sangat dirasakan oleh pribadi ulama besar bernama al-Syaikh Salim Rahmatullah, guru sekaligus mudir al-Shaulatiyyah kala itu. Kecintaaannya pada Zainuddin terungkap lewat tuturnya yang teramat dalam: cukuplah al-Shaulatiyyah punya satu murid saja asalkan seperti Zainuddin. Ia bernostalgia bagai waktu dahulu saat Zainuddin masih di al-Shaulatiyyah. Ia kerap bermimpi, akankah ada murid al-Shaulatiyyah yang serupa atau mendekati kealiman Zainuddin.
Ungkapan Syaikh Salim itu benar dan jelas bahwa itu adalah bahasa cinta sekaligus bahasa kekaguman atas pribadi yang dicintainya. Zainuddin adalah putra terbaik yang pernah dididik di al-Shaulatiyyah. Zainuddin adalah murid terbaik yang pernah belajar di al-Shaulatiyyah. Zainudddin adalah pemuda terbaik yang melukis keshalihannya dengan belajar jutaan hikmah dari guru-gurunya. Zainuddin adalah anak emas yang telah dilahirkan oleh alam dan dibesarkan di al-Shaulatiyyah. Zainuddin adalah kekasih Allah yang dirasakan hikmahnya oleh al-Shaulatiyyah sepanjang zaman.
Mudir menyadari itu. Mudir menyadari kehilangan yang tiada tara itu. Mudir menyadari bahwa Allah belum menitipkan lelaki cerdas melebihi Zainuddin. Gedung al-Shaulatiyyah seakan merana, penghuninya nelangsa, guru-guru nyaris kehilangan gairahnya. Lorong-lorong bisu, kelas kaku, halaman pucat pasi. Musim demi musim hanya menyimpan kenang, akankah ada Zainuddin-Zainuddin lagi yang datang ke al-Shaulatiyyah untuk belajar. Sampai wafatnya Syaikh Salim takjua dijumpai pengganti murid yang sempurna keshalihan dan kecerdasannya. Rasa kehilangan itu terlukiskan lewat ucapannya yang terlampau romantis: cukuplah al-Shaulatiyyah punya satu murid saja asalkan seperti Zainuddin. Zainuddin dinilainya sebagai satu-satunya cinta yang dimiliki al-Shaulatiyyah. Masa demi masa tidak menyediakan penggantinya.
Kesedihan dan rasa kehilangan diceritakannya kepada murid-muridnya. Mudir selalu, hampir selalu merenung setiap kali mengingat Zainuddin. Salah seorang guru al-Shaulatiyyah yang merekam tangis kehilangan itu adalah Syaikh Damanhuri seperti yang dituturkan muridnya. Dalam cerita beliau, seperti dituturkan salah satu murid al-Shaulatiyyah yakni TGH. Sahri Ramadlan (kastsarallah mistlah), bahwa betapa al-Shaulatiyyah kehilangan yang teramat sangat. Betapa nama Zainuddin adalah nama besar ulama al-Shaulatiyyah Makkah bukan semata ulama Indonesia.
Syaikh Damanhuri saat itu tidak pernah bersua dengan Maulana al-Syaikh Zainuddin namun nama Zainuddin telah menjadi buah hatinya karena Zainuddin telah menjadi buah bibir Mudir yakni Syaikh Salim Rahmatullah, bahkan keluarga al-Shaulatiyyah. Hampir di tiap pengajian beliau hampir selalu menyempatkan menyebut Maulana al-Syaikh Zainuddin. Aneh. Padahal tidak pernah bersua. Aneh. Bagaimana Allah menanamkan keyakinan pada diri sang Syaikh itu tentang keagungan Zainuddin, murid dari gurunya itu. Bagaimana alumni madrasah al-Falah itu begitu mencintai Zainuddin sebagaimana kecintaan guru-gurunya. Rasa cinta Syaikh Salim Rahmatullah kepada Maulana juga merasuk dalam dirinya.
Salah satu cerita kehilangan yang diceritakannya adalah bahwa dalam sekian kali cerita kehilangan yang tiada tara itu, dalam suasana kenang duka kehilangan al-Syaikh Salim pernah berkata:
ذَهَبَ الْعِلْمُ, ilmu telah pergi.
Al-Syaikh Salim cucu pendiri al-Shaulatiyyah itu menyatakan bahwa keluarga al-Shaulatiyyah telah kehilangan ahli ilmu, al-Shaulatiyyah telah kehilangan kebanggaan. Beliau menyatakan bahwa menara ilmu al-Shaulatiyyah telah redup sinarnya. Sosok Zainuddin tidak dilihatnya sebagai murid semata tetapi Zainuddin adalah referesentasi ahli ilmu dan kepulangannya ke Indonesia adalah kehilangan bagi al-Shaulatiyyah. Zainuddin tidak diyakininya hanya ahli ilmu sebagai pribadi tetapi Syaikh Salim cucu Syaikh Rahmatullah itu merasa kekeringan ilmu di al-Shaulatiyyah karena tidak ada lagi yang memacu guru-guru di al-Shaulatiyyah demikian aktif menghadapi siswa terpilih itu. Tidak ada lagi yang bisa menjadi contoh terdekat yang mendorong aktif murid-murid al-Shaulatiyyah setelah Zainuddin pergi.
Zainuddin  dinilainya sebagai ahli ilmu sekaligus inspirasi ahli ilmu dalam hal ketaatan, kesabaran, ketekunan, keshalihan, kecerdasan, kejujuran, dan kecintaannya pada madrasahnya. Zainuddin dinilainya sebagai ilmu karena terlalu banyak pelajaran yang diambil oleh keluarga besar al-Shaulatiyyah dari pribadi Zainuddin. Zainuddin menjadi kitab, menjadi catatan, menjadi natsar (prosa), menjadi syair (puisi). Zainuddin menjadi pujian atas keagungan ilmu dan ahlinya. Wujud Zainuddin menurut Syaikh Salim adalah ilmu itu sendiri. Ilmu yang hidup yang pernah dimiliki al-Shaulatiyyah.
Kini kurang lebih 85 tahun setelah Maulana al-Syaikh meninggalkan madrasah itu, namanya masih menggema di tanah Makkah. Al-Syaikh Salim telah tiada dan digantikan putranya al-Syaikh Mas’ud lalu digantikan oleh Syaikh Majid. Semuanya mengenang Zainuddin. Zainuddin putra Lombok yang dihormati oleh gurunya karena keluhuran budi, keluasan ilmu dan keagungan pribadinya.
Pantaslah al-Syaikh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki sekembalinya dari Ziarah kepada Maulana al-Syaikh pada tahun 1980-an di depan murid-muridnya beliau berikrar bahwa Maulana al-Syaikh Zainuddin adalah manusia yang tiada bandingannya. Zainuddin adalah manusia yang tiada duanya. Beliau berkata:
مَا فِيْه غَدُّهُ فِى الْعَالَمِ, Zainuddin tiada duanya di dunia.
Salam untukmu wahai guruku,
Salam bi azka al-salam.

12 comments:

  1. Subhanallah,,
    Begitu alim dan cerdas beliau,,

    ReplyDelete
  2. Subhanallah,,
    Begitu alim dan cerdas beliau,,

    ReplyDelete
  3. Ya Allah semoga anak keturunanku bisa mewarisi ilmu, ibadah serta akhlak dan kepribadian Maulana Syekh Zainuddin Abdul Majid,,Allahumma Amin.

    ReplyDelete
  4. Mudahan di antara keturunan kita ad yg seperti Syaikh Zainuddin. Amin allahuma amin

    ReplyDelete
  5. Insya Alloh, cucu beliau (TGB zainul majdi) salah satu berlian yg dimiliki ntb, indonesia dan dunia dan islam menuju kebangkitan bangsa, dan kejayaan islam dimasa mendatang

    ReplyDelete
  6. SUBHANALLOH,,, Maha besar ALLAH dan tiada sekutu baginya,,
    pada setiap barisan cerita ini membuat aku merinding,, ingin meneteskan air mata,

    ReplyDelete
  7. Ilmu hikmah yang maha tinggi jelas mengalir di setiap langkah Maulana Syaikh, dengan rasa ta'zim kpd ilmu dn gurunya mmbuat beliau menjadi murid yg tiada duanya didukung dengan kecerdasan beliau...
    Smg kita muridnya dpt bagian hikmah jua....

    ReplyDelete
  8. Kekaguman dan kebanggaan kita pada guru mari kita ikuti dengan mengamalkan apa yg telah disampaikan dan diberikan kepada kita, sejauh yang saya tau, "sebaik baik orang islam adalah orang yang mengaku salah dan bertaubat (minimal istigfar 70-100 sehari), dan sebaik baik orang NW adalah orang yg berwirid (minimal mengamalkan kaifiat shalawat nahdlatain dan doa pusaka)

    ReplyDelete
  9. Kekaguman dan kebanggaan kita pada guru mari kita ikuti dengan mengamalkan apa yg telah disampaikan dan diberikan kepada kita, sejauh yang saya tau, "sebaik baik orang islam adalah orang yang mengaku salah dan bertaubat (minimal istigfar 70-100 sehari), dan sebaik baik orang NW adalah orang yg berwirid (minimal mengamalkan kaifiat shalawat nahdlatain dan doa pusaka)

    ReplyDelete